青い 空 - チッミ ブログ

ukiran kisah klasik ku

ga keren bangett

setelah kembali menggeluti dunia PWK APPK yang terjal bagai jalan pedesaan dengan perkerasan makadam, berliku bagai jalan lingkungan sekunder, deras bagai Main Drain Brantas, turun naik hingga harus diseimbangkan oleh Bran Kran, penuh sesak bagai terkena Back Log. yah begitulah, akhirnya aku menjadi orang yang lebay gara-gara survey satu kelurahan ini. harus panas-panas lah, pusing-pusing lah, begadanglah, nyusun rencana lah, ngatur gusur sini-gusur sana. lalu jadilah aku mempunyai penyakit yang GA KEREN BANGET INI!!

entah makan apa aku hari sebelumnya tapi pas udah subuh-subuh badan ku langsung panas. padahal masih ngutang ngerjain 3D jalan + parkir 5 rusun Kauman lagi. tapi ya apa mau dikata. badan ku udah ga bisa kompromi lagi. dan akhirnya besokny ga bisa masuk kuliah, hanya terbaring di kasur, mendalami pusing yang kurasain. mikirin materi apa yang bakalan Pak Rizal sampein pas PDT ntar. mikirin sms temen-temen yang nanyain aku dimana, kenapa, koq ga nongol batag idungku di kampus (untuk bertanya masalah PR 3D ku uda selelese apa belum). bingung Dilla nge sms nanya jobdesk TGL ku. aarrggggghhh. alhasil bertambahlah pusing ku.

nyari akal biar bisa sms mas Narto biar bisa beli pulsa. muter-muter kost an dengan lemah lunglai mengemis pulsa ke mba kost. dan akhirnya Mba Icha berbaik hati memberikannya dengan sukacita. tengkyu mba :-*

setelah saldo masuk, mulailah ku bales sms temen-temen. pertama ku telpon Dilla. ku bilang kalo aku d kost. lagi sakit. lagi panas. lagi pusing. memang dia ga nagih jobdesk lagi, tapi dia mau ke kost ku ngerjain tugas. OMG. tak mengertikah kau Dil, aku di sini lagi sakit, malah kau tambah pusingku dengan tugas yang ingin kamu kerjakan di kost ku???tapi ya sudahlah, itu udah berlalu.

*to be continued, obat sudah menantiku untuk diminum :((

sick of this!

so~ monoton. i cant take it anymore. please release me from this. i really really hate that i still thinkin' of you. grrrrrrrr

BAB I

PENDAHULUAN

Seperti di negara sedang berkembang lainya, berbagai kota besar di Indonesia berada dalam tahap pertumbuhan urbanisasi yang tinggi akibat laju pertumbuhan ekonomi yang pesat sehingga kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakanpun menjadi semakin meningkat. Akan menjadi tantangan bagi negara berkembang, dalam hal ini instansi dan departemen terkait serta perencana transportasi perkotaan, adalah masalah kemacetan lalu lintas serta pelayanan angkutan umum perkotaan. Masalah ini biasanya timbul pada kota yang berpenduduk lebih dari 2 juta jiwa.

Dengan meredupnya sektor pertanian konvesional apalagi dimata generasi muda, perkotaan selalu menawarkan banyak kesempatan, baik di sektor formal maupun informal dan hal ini ditunjang oleh tidak meratanya pertumbuhan wilayah didaerah pedalaman dibandingkan daerah perkotaan. Namun sebesar apa pun kota dengan segala kelengkapanya, akan tetap mempunyai batasan yaitu daya tampung. Jika batas daripada daya tampung sudah terlampaui maka akan terjadi beberapa ketimpangan yang berorientasi negatif.

Transportasi diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hubungan ini dapat terlihat tiga hal berikut: ada muatan yang diangkut; tersedia kendaraan sebagai alat angkutnya dan terdapat jalan yang dapat dilalui. Proses pemindahan (transportasi) merupakan gerakan dari tempat asal, dimana kegiatan pengangkutan dimulai, ke tempat tujuan, dimana kegiatan diakhiri. Transportasi berfungsi sebagai sektor penunjang ekonomi (the promoting sector) dan pemberi jasa (the servicing sector) bagi perkembangan ekonomi (Nasution H.M.N, 2004).

Salah satu penemuan terbesar dalam memajukan kebudayaan dan kesejahteraan manusia adalah penemuan peralatan transportasi. Kemajuan pengangkutan adalah sebagai akibat kebutuhan manusia untuk bepergian ke lokasi atau tempat yang lain guna mencari barang yang dibutuhkan atau melakukan aktivitas, dan mengirim barang ke tempat lain yang membutuhkan sesuatu barang.

Setelah roda berhasil diciptakan yang mendorong kemajuan alat angkut di darat, dan kompas yang membuka kesempatan berlayar jauh serta mesin uap pada masa revolusi industri yang dipakai sebagai alat penggerak kendaraan bermotor, kapal, dan kereta api, maka hanya diperlukan waktu kurang dari satu abad untuk mengalahkan bukan hanya hambatan dalam jarak, tetapi mempersingkat waktu perjalanan yang turu sangat menyolok.

Tidak ada lagi titik-titik tujuan di muka bumi yang tidak dapat dicapai oleh manusia, tidak ada lagi batasan dalam berat dan volume barang yang bisa diangkut. Manusia tidak perlu membuang waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan dalam perjalanan untuk bepergian ke tempat yang dahulu dikatakan letaknya terlalu jauh dari tempat dia berdiam, pilihan jenis angkutan juga terbuka luas.

Untuk bepergian orang bisa memilih apakah akan melalui darat, laut atau udara kombinasi dari ketiga kelompok jenis angkutan tersebut dengan berbagai ragam kendaraan sebagai alat angkut yang tersedia.

Masa perkembangan transportasi terwujud dalam bentuk bahwa kemajuan alat angkut selalu mengikuti dan mendorong kemajuan teknologi transportasi. Perkembangan ini telah memupus kegelapan dalam kehidupan manusia yang tidak terjamah oleh kemajuan untuk jutaan tahun lamanya.

Transportasi terkait pula dengan produktivitas. Kemajuan transportasi akan membawa peningkatan mobilitas manusia, obilitas faktor-faktor produksi dan mobilitas hasil olahan yang dipasarkan. Makin tinggi mobilitas berarti lebih cepat dalam gerakan dan peralatan yang terefleksi dalam kelancaran distribusi serta lebih singkat waktu yang diperlukan untuk mengolah bahan dan memindahkannya dari tempat di mana bahan tersebut kurang bermanfaat ke lokasi di mana manfaatnya lebih besar. Makin tinggi mobilitas dengan demikian berarti lebih produktif.

Peningkatan produktivitas adalah motor utama dalam menunjang kemjuan ekonomi. Ekonomi yang sudah berkembang selalu menunjukkan tingkat mobilitas yang tinggi, yang ditunjang oleh transportasi yang lancar. Sebaliknya ekonomi yang belum berkembang ditandai oleh faktor mobilitas yang masih rendah yang terutama dipengaruhi oleh distribusi dan angkutan yang belum lancar.

Kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi menjadi pendorong proses globalisasi. Teknologi yang begitu cepat kemajuannya telah memicu perubahan yang begitu besar pada perkembangan ekonomi dan masyarakat yang menyebabkan hilangnya pemisah dalam kehidupan ekonomi negara-negara di dunia. Lingkup kegiatan transportasi telah lama melampaui batas-batas negara.

Dengan liberalisasi yang sekarang terus-menerus berkembang yang didukung dengan pembentukan berbagai kerja sama ekonomi regional AFTA, APEC, meluasnya lingku kegiatan tersebut lebih nyata lagi. Sebenarnya banyak negara berkembang yang kurang siap menghadapi keterbukaan yang dibawa oleh liberalisasi tersebut. Karena itu liberalisasi perlu dikaitkan dengan kerja sama pembangunan. Inti dari kerja sama tersebut antara lain adalah pembangunan infrastruktur (di mana salah satu unsurnya adalah transportasi liberalisasi itu cukup mantap. Untuk itu negara-negara berkembang seperti Indonesia perlu segera memajukan sektor-sektor infrastruktur yang tentunya akan memerlukan investasi besar.

Transportasi merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan untuk membantu kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Karena itu apabila terjadi hambatan pada transportasi maka akan terjadi hambatan pula pada kegiatan masyarakat. Transportasi sama seperti sektor-sektor lainnya, yaitu membutuhkan energi untuk bisa bekerja. Sekarang diperkirakan sektor transportasi menyerap hampir 40% dari total kebutuhan energi primer. Padahal kegiatan transportasi ini tidak bisa dibatasi karena semakin bertambahnya penduduk tiap tahunnya. Selain itu, peningkatan intensitas kegiatan sosial ekonomi masyrakat juga mempengaruhi sektor transportasi ini. Oleh karena itu diperlukanlah sistem terbaru yaitu sistem transportasi yang hemat energi dan berkelanjutan.

Tiga hal yang mempengaruhi sistem transportasi hemat energi yaitu (1) konsumsi energi perindividu kendaraan, (2) jumlah kendaraan yang beroperasi, dan (3) driving behaviour. Untuk itu agar tercipta sistem transportasi yang hemat energi, maka ketiga hal tersebut haruslah dioptimumkan.

Dalam uraian berikut ini, bahasan hanya ditekankan untuk moda angkutan jalan, khususnya di daerah perkotaan. Oleh karena itu maka untuk penerapannya pada sistem transportasi nasional yang terdiri dari berbagai moda (darat, sungai atau danau atau penyeberangan, kereta api, laut dan udara), maka perlu modifikasi seperlunya dengan mengambil ide dasar dari sistem transportasi perkotaan yang pada umumnya berbasis jalan.

Transportasi perlu untuk mengatasi kesenjangan jarak dan komunikasi antara tempat asal dan tempat tujuan. Untuk itu dikembangkan sistem transportasi dan komunikasi, dalam wujud sarana (kendaraan) dan prasarana (jalan). Dari sini timbul jasa angkutan untuk memenuhi kebutuhan perangkutan (transportasi) dari satu tempat ke tempat lain. Di sini terlihat, bahwa transportasi dan tata guna lahan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Kegiatan transportasi yang diwujudkan dalam bentuk lalu lintas kendaraan, pada dasarnya merupakan kegiatan yang menghubungkan dua lokasi dari tata guna lahan yang mungkin sama atau berbeda. Memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain, berarti memindahkannya dari satu tata guna lahan ke tata guna lahan yang lain, yang berarti pula mengubah nilai ekonomi orang atau barang tersebut. Transportasi dengan demikian merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia dengan cara mengubah letak geografis barang atau orang. Jadi salah satu tujuan penting dari perencanaan tata guna lahan atau perencanaan sistem transportasi, adalah menuju ke keseimbangan yang efisien antara potensi tata guna lahan dengan kemampuan transportasi.

Untuk wilayah perkotaan, transportasi memegang peranan yang cukup menentukan. Suatu kota yang baik dapat ditandai, antara lain dengan melihat kondisi transportasinya. Transportasi yang baik, aman, dan lancar selain mencerminkan keteraturan kota, juga memperlihatkan kelancaran kegiatan perekonomian kota. Perwujudan kegiatan transportasi yang baik adalah dalam bentuk tata jaringan jalan dengan segala kelengkapannya, berupa rambu-rambu lalu lintas, marka jalan, penunjuk jalan, dan sebagainya. Selain kebutuhan lahan untuk jalur jalan, masih banyak lagi kebutuhan lahan untuk tempat parkir, terminal, dan fasilitas angkutan lainnya.

Perkembangan teknologi di bidang transportasi menuntut adanya perkembangan teknologi prasarana transportasi berupa jaringan jalan. Sistem transportasi yang berkembang semakin cepat menuntut perubahan tata jaringan jalan yang dapat menampung kebutuhan lalu lintas yang berkembang tersebut. Perkembangan tata jaringan jalan baru akan membutuhkan ketersediaan lahan yang lebih luas, seperti antara lain untuk pelebaran jalan, sistem persimpangan tidak sebidang, jalur pemisah, dan sebagainya. Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk sistem transportasi (terutama transportasi darat) ini mempunyai pengaruh besar terhadap pola tata guna lahan, terutama di daerah perkotaan. Di sini masalah lingkungan perlu diperhatikan. Perubahan tata guna lahan akan berpengaruh terhadap kondisi fisik tanah (terutama muka air tanah), serta masalah sosial dan ekonomi, sehingga perlu dilakukan studi yang bersifat komprehensif lebih dahulu (menyangkut masalah lingkungan).

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Transportasi

Mobilitas manusia sudah dimulai sejak jaman dahulu kala, kegiatan tersebut dilakukan dengan berbagai tujuan antara lain adalah untuk mencari makan, mencari tempat tinggal yang lebih baik, mengungsi dari serbuan orang lain dan sebagainya. Dalam melakukan mobilitas tersebut sering membawa barang ataupun tidak membawa barang. Oleh karenanya diperlukan alat sebagai sarana transportasi.

Transportasi adalah sarana bagi manusia untuk memindahkan sesuatu, baik manusia atau benda dari satu tempat ke tempat lain, dengan ataupun tanpa mempergunakan alat bantu. Alat bantu tersebut dapat berupa tenaga manusia, binatang, alam ataupun benda lain dengan mempergunakan mesin ataupun tidak bermesin. Proses ini digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Di negara maju, mereka biasanya menggunakan kereta bawah tanah (subway) dan taksi. Penduduk disana jarang yang mempunyai kendaraan pribadi karena mereka sebagian besar menggunakan angkutan umum sebagai transportasi mereka.

Ada lima unsur pokok transportasi, yaitu:

  • Manusia, yang membutuhkan ;
  • Barang, yang diperlukan manusia ;
  • Kendaraan, sebagai sarana ;
  • Jalan, sebagai prasarana ;
  • Organisasi, sebagai pengelola.

Pada dasarnya, ke lima unsur di atas saling terkait untuk terlaksananya transportasi, yaitu terjaminnya penumpang atau barang yang diangkut akan sampai ke tempat tujuan dalam keadaan baik seperti pada saat awal diangkut. Dalam hal ini perlu diketahui terlebih dulu ciri penumpang dan barang, kondisi sarana dan konstruksi prasarana, serta pelaksanaan kegiatan ini.

Transportasi berfungsi untuk mengatasi kesenjangan jarak dan komunikasi antara tempat asal dan tempat tujuan. Untuk itu dikembangkan sistem dalam wujud sarana (kendaraan) dan prasarana (jalan). Dari sini timbul jasa angkutan untuk memenuhi kebutuhan perangkutan dari satu tempat ke tempat lain.

Transportasi sendiri dibagi tiga yaitu, darat, laut, dan udara. Jalur udara membutuhkan banyak uang untuk memakainya. Selain karena memiliki teknologi yang lebih canggih, ini merupakan proses tercepat dibandingkan melalui jalur lain.

1. Sarana yang digunakan untuk transportasi darat antara lain :

  • Angkutan jalan ;
  • Kereta api ;
  • Lainnya - Angkutan darat selain mobil, bus ataupun sepeda motor yang lazim digunakan oleh masyarakat, umumnya digunakan untuk skala kecil, rekreasi, ataupun sarana sarana di perkampungan baik di kota maupun di desa.
  1. Sepeda ;
  2. Becak ;
  3. Bajaj ;
  4. Bemo ;
  5. Helicak ;
  6. Delman.

Adapun prasarananya antara lain :

  • Jalan dan jembatan ;
  • Rel ;
  • Terminal ;
  • Stasiun kereta api ;
  • Halte ;
  • Area Traffic Control System (ATCS).

2. Sarana untuk transportasi laut antara lain :

  • Kapal ;
  • Feri ;
  • Sampan.

Sedangkan prasarananya antara lain :

  • Pelabuhan ;
  • Galangan kapal.

3. Sarana untuk trasportasi udara antara lain :

  • Pesawat

Sedangkan prasarananya antara lain :

  • Bandar udara

Transportasi publik adalah seluruh alat dimana penumpang tidak bepergian menggunakan kendaraannya sendiri. Umumnya termasuk kereta dan bis, namun juga termasuk pelayanan maskapai penerbangan, feri, taxi, dan lain - lain. Ini merupakan sarana yang utama di bumi.

2.2 Isu Transportasi

Transportasi telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat modern. Apalagi jika menyangkut transportasi publik. Ketersediaan transportasi publik yang komperhensif akan sangat mempengaruhi mobilitas sebuah kota. Di kebanyakan kota besar di seantero dunia, transportasi publik menjadi permasalahan serius. Kota-kota besar di Indonesia juga mengalami hal serupa. Bahkan di beberapa kota masalah transportasi telah menjadi sedemikian akut.

Kemacetan lalu lintas, kecelakaan dan kesemrawutan jalan telah menjadi hal yang rutin di kota-kota besar. Kondisi ini secara umum memang disebabakan oleh ledakan jumlah kendaraan pribadi serta kecilnya daya dukung infrastruktur dan suprastruktur jalan. Namun, secara spesifik masih terdapat faktor-faktor lain. Termasuk di dalamnya sensitifitas kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Permasalahan ketersediaan transportasi publik tentunya membutuhkan sebuah pendekatan yang komperhensif, karena masalah transportasi akan memberikan implikasi yang signifikan pada sektor lain. Ekonomi, budaya, pendidikan bahkan juga mempengaruhi tingkat kriminalitas.

2.3 Faktor Penentu Pengembangan Transportasi

Menurut Hay dalam Nasution (2004), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan transportasi di masa akan datang seperti berikut ini.

A. Ekonomi

Alasan ekonomi bisanya merupakan dasar dari dikembangkannya sistem transportasi, dengan tujuan utama untuk mengurangi biaya produksi dan distribusi serta untuk mencari sumber daya alam dan menjangkau pasar yang lebih luas.

Contoh dari faktor ini bisa terlihat pada perkembangan armada laut negara-negara seperti Inggris dan Portugis di masa lalu, yang di antaranya disebabkan oleh adanya alasan ekonomi.

B. Geografi

Alasan sikembangkannya sistem transportasi pada awalnya adalah untuk mengatasi keadaan alam setempat dan kemudian berkembang dengan upaya untuk mendekatkan sumber daya dengan pusat produksi dan pasar.

Pada alasan yang pertama, terdapat beberapa sistem transportasi yang dikembangkan secara spesifik pada beberapa daerah khusus untuk mengatasi rintangan pada daerah tersebut, misalnya sistem transportasi kereta gantung di daerah pegunungan, sistem kereta luncur es di daerah yang selalu bersalju, dan sebagainya.

C. Politik

Alasan dikembangkannya suatu istem transportasi secara politik adalah menyatukan daerah-daerah dan menditribusikan kemakmuran ke seluruh pelososk suatu negara tertentu. Contoh dari upaya ini di Indonesia adalah misalnya dibangunnya beberapa jalan utama di Sumatra (Trans Sumatra) atau Kalimantan (Trans Kalimantan) atau malah dengan adanya ungkapan “banyak jalan menuju Roma” yang mengindikasikan betapa kuatnya pengaruh politik dari kerajaan Romawi di zaman dahulu, sehinggga seolah-olah semua tempat berkiblat ke pusat kerajaan di kota Roma.

D. Pertahanan dan Keamanan

Alasan dikembangkannya sistem transportasi dari segi pertahanan keamanan negara adalah untuk keperluan pembelaan diri dan menjamin terselenggaranya pergerakan dan akses yang cepat ke tempat-tempat strategis, misalnya daerah perbatasan negara, pusat-pusat pemerintahan, atau instalasi penting lainnya.

Contoh dalam hal ini adalah dikembangkannya jalan-jalan pada masa kerajaan Romawi atau pembuatan jalan pos Anyer – Panarukan sepanjang kira-kira 1.000 km di masa kekuasaan Daendels di Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu) pada tahun 1809.

E. Teknologi

Adanya penemuan-penemuan teknologi baru tentu akan mendorong kemajuan di keseluruhan sistem transportasi. Contoh dari faktor ini terlihat jelas dengan, misalnya, ditemukan mesin uap atau mesin bakar serta komputer yang sangat berpengaruh terhadap bidang transportasi. Contoh lain dari pengaruh di bidang ini bisa juga dilihat pada dampak dari sangat pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang akan sangat berpengaruh terhadap bidang transportasi di masa akan mendatang.

F. Kompetisi

Dengan adanya persaingan, baik antarmoda, maupun dalam bentuk lainnya, seperti pelayanan, material, dan lain-lain, secara tidak langsung akan mendorong perkembangan sistem transportasi dalam rangka memberikan pilihan yang terbaik.

Contoh dari pengaruh ini adalah misalnya adanya kompetisi antara angkutan jlan dengan angkutan kereta anara Jakarta – Surabaya, yang masing-masing akan mengembangkan jaringan jalan tol dan kereta api cepat yang menghubungakan ke dua daerah tersebut.

G. Urbanisasi

Dengan makin meningkatnya arus urbanisasi, maka pertumbuhan kota-kota akan semakin meningkat dan dengan sendirinya kebutuhan jaingan transportasi untuk menampung pergerakan warga kotanya pun akan semakin meningkat pula.

Contoh akibat dari perkembangan di bidang ini adalah dengan mulai dipikirkannya pembangunan beberapa sistem angkutan umum massal di beberapa kota metroplitan di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan lain-lain.

2.4 Jaringan Jalan

Apabila membicarakan transportasi, pastinya hal itu berkaitan dengan jaringan jalan. Jalan merupakan salah satu hal penting dalam merencanakan transportasi berkelanjutan. Menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2006 jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan rel.

Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Pasal 5 menerangkan bahwa peran jalan terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Sebagai bagian prasarana transportasi jalan mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup, politik, hankam, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

2. Sebagai prasarana distribusi barang dan jasa jalan merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara;

3. Merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan yang menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia.

Klasifikasi fungsi jalan secara umum terdiri dari:

1. Jalan arteri, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna;

2. Jalan kolektor, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi;

3. Jalan lokal, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi;

4. Jalan lingkungan, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

Dari keempat jenis jalan yang dibagi menurut fungsinya tersebut, jalan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya

No.

Sistem Jaringan Jalan

Klasifikasi menurut Fungsi Jalan

Fungsi

1.

Sistem jaringan jalan primer

Jalan arteri primer

Menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah.

Jalan kolektor primer

Menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal

Jalan lokal primer

Menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.

Jalan lingkungan primer

Menghubungkan antarpusat kegiatan di

Dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan.

2.

Sistem jaringan jalan sekunder

Jalan arteri sekunder

Menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

Jalan kolektor sekunder

Menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

Jalan lokal sekunder

Menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

Jalan lingkungan sekunder

Menghubungkan antarpersil dalam

Kawasan perkotaan.

Sumber: PP No.34 Tahun 2006

2.5 Permasalahan Transportasi

Pelaksaan transportasi darat untuk angkutan penumpang di Indonesia mempunyai banyak masalah. Secara umum sebagian masalah tersebut adalah :

1. Kemacetan lalu lintas ;

2. Trayek-trayek yang tumpang tindih ;

3. Tidak sesuainya jumlah bus pada suatu trayek ;

4. Volume pelayanan (dimensi bus tidak sesuai, panjang trayek) ;

5. Jumlah penumpang yang berubah ;

6. Efisiensi yang rendah.

Transportasi di Indonesia saat ini sangat mengecewakan, saat ini belum ada alat transportasi yang ramah lingkungan, terlebih menjamin keselamatan pemakai maupun penumpang alat transportasi itu sendiri.

Selain itu, permasalahan transportasi lainnya adalah parkir di pinggir jalan atau lebih dikenal dengan parkir on street adalah kegiatan parkir yang dilakukan di tepi jalan yang tidak melarang kendaraan untuk berhenti. Parkir biasanya dilakukan secara parkir paralel atau parkir serong, bila dinyatakan demikian dengan rambu dan marka. Parkir di pinggir jalan biasanya penting untuk kegiatan bisnis yang ada di pinggir jalan seperti apotik, toko 24 jam, kantor kecil, atau kegiatan lainnya yang ada di pusat kota, khususnya kota lama.

Secara umum di dalam pasal 43 Undang – Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan No 22 tahun 2009 dikatakan bahwa Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas, dan/atau marka jalan.

Ada beberapa tempat yang melarang parkir di pinggir jalan, antara lain :

  • Jalan nasional dan jalan propinsi ;
  • Pada jarak 6 m sebelum dan sesudah hidrant ;

· Parkir di pinggir jalan sebaiknya dilarang pada jalan 2 arah yang lebarnya kurang dari 6 m ;

  • Pada jarak 6 m sebelum dan sesudah zebra cross ;
  • Pada jarak 25 m dari persimpangan ;
  • Pada jarak 50 m dari jembatan ;
  • Pada jarak 100 m dari perlintasan sebidang.

Beberapa permasalahan yang timbul dengan adanya parkir di pinggir jalan:

· Angka kecelakaan lalu lintas tinggi tinggi, khususnya kecelakaan terhadap kendaraan yang keluar dari tempat parkir karena gangguan jarak pandang yang terbatas ataupun kecelakaan yang terjadi dengan pejalan kaki yang keluar dari balok kendaraan yang parkir tanpa memperhatikan situasi lalu lintas.

· Menurunnya kapasitas jalan karena lebar efektif berkurang, sehingga bila kelancaran arus lebih dipentingkan dari parkir dilakukan pembatasan atau pelarangan parkir. Pelarangan parkir biasanya diprotes oleh pemilik bangunan atau usaha di sekitar jalan yang dilarang parkir tersebut.

BAB III

TELAAH

3.1 Penghematan Energi di Sektor Transportasi

Konsumsi energi pada setiap kendaraan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu konsumsi energi pada motor penggerak, lamanya waktu mengoperasikan kendaraan, dan besarnya hambatan yang terjadi. Konsumsi energi pada motor penggerak dipengaruhi oleh kapasitas mesin, kondisi mesin, jenis bahan bakar, dan kualitas bahan bakar. Hal yang mempengaruhi lamanya waktu operasi kendaraan adalah jarak dan waktu tempuh yan diperlukan suatu kendaraan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan besarnya hambatan yang terjadi selama kendaraan beroperasi dipengaruhi oleh kecepatan kendaraan dan bentuk dari kendaraan itu sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Hatmodjo dalam Sistem Transportasi Perkotaan Hemat Energi, langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan penghematan konsumsi energi pada setiap kendaraan adalah sebagai berikut.

A. Efisiensi Bahan Bakar

Konsumsi bahan bakar tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi mesin kendaraan itu sendiri. Semakin baik kondisi mesin kendaraan tersebut, maka semakin hemat pula lah bahan bakar yang dipakai. Kondisi mesin kendaraan ini juga mempengaruhi kesempurnaan proses pembakaran. Selain itu, yang mempengaruhi kesempurnaan ini juga adalah jenis dan kualitas bahan bakar yang dipakai oleh kendaraan.

B. Efisiensi Hambatan Udara

Hambatan udara terjadi pada saat kendaraan bergerak. Besarnya hambatan dipengaruhi oleh kecepatan operasi dan bentuk kendaraan yang bersangkutan.

C. Efisiensi Kapasitas Mesin Kendaraan

Konsumsi bahan bakar juga tergantung dari kapasitas mesin. Semakin tinggi kapasitas mesin, semakin tinggi pula konsumsi bahan bakar. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan inovasi-inovasi baru agar dapat dihasilkan mesin dengan kapasitas kecil yang hemat energi, tetapi yang dapat menghasilkan tenaga yang cukup besar.

D. Efisiensi Iddle Time

Iddle time adalah waktu di mana kendaraan dalam kondisi “menganggur”, misal pada saat (1) mengantri di persimpangan, (2) menaikkan atau menurunkan penumpang di halte atau stasiun, (3) menunggu giliran di terminal atau stasiun akhir, (4) mencari lokasi parkir dan bermanouver di lokasi parkir, dan lain sebagainya. Kalau iddle time ini bisa diminimumkan, maka konsumsi bahan bakar juga dapat dihemat. Berdasarkan uraian tersebut, maka solusi yang bisa ditawarkan adalah perbaikan manajemen lalu lintas, perbaikan manajemen operasional angkutan umum dan perbaikan manajemen perparkiran.

E. Efisiensi Jarak Tempuh

Jarak tempuh dalam suatu daerah, sangat erat terkait dengan struktur tata ruang di daerah yang bersangkutan.Mengingat bahwa jumlah perjalanan terbesar pada umumnya dilakukan untuk maksud bekerja dan sekolah, maka jarak perjalanan akan minimum apabila jarak antara lokasi permukiman (lokasi asal perjalanan) dengan lokasi perkantoran atau industri atau sekolah (lokasi tujuan perjalanan) dibuat minimum. Untuk itu diperlukan struktur tata ruang yang kompak, yang dapat meminimumkan jarak perjalanan, baik untuk maksud bekerja, sekolah, belanja, sosial, rekreasi atau untuk maksud-maksud yang lain.

Untuk mendukung struktur tata kota yang kompak, diperlukan jaringan prasarana transportasi yang terstruktur dengan baik, yang sesuai dengan pola asal tujuan perjalanan. Dalam konteks jaringan prasarana jalan (di daerah perkotaan), struktur jaringan dapat dikembangkan mengikuti sistem grid, sistem radial, atau kombinasi dari keduanya sesuai kebutuhan. Pada sistem grid, jalan yang lurus membagi kota menjadi beberapa daerah yang tiap bagiannya berbentuk kotak-kotak bujur sangkar atau empat persegi panjang. Sedangkan pada sistem radial seluruh perjalanan diarahkan menuju ke pusat kota, dan untuk menghubungkan daerah-daerah yang berlokasi di daerah pinggiran kota dibangun satu atau lebih jalan lingkar.

Selain mempertimbangkan struktur jaringan seperti tersebut di atas, kapasitas prasarana harus disesuaikan dengan fungsinya, baik sebagai arteri, lokal atau kolektor. Pembedaan kapasitas berdasarkan fungsi ini sama seperti aliran air sungai, yang bermula dari saluran-saluran kecil di daerah hulu, kemudian membentuk sungai yang lebih besar di daerah yang lebih rendah, dan menjadi semakin besar di daerah hilir. Identik dengan hal tersebut maka arus lalu lintas di daerah pemukiman dikumpulkan pada jalan kolektor yang kapasitasnya relatif kecil. Arus lalu lintas dari jalan kolektor ditampung pada jalan lokal yang mempunyai kapasitas lebih besar, yang akhirnya bermuara di jalan arteri yang didisain dengan kapasitas yang paling besar.

Dalam konteks transportasi multi moda, koridor yang tingkat kebutuhannya (Level Of Demand) sudah sangat tinggi (Trunk Line) dapat dilayani oleh moda angkutan umum masal (Mass Rapit Transit – MRT) yang berkapasitas besar. Sedangkan koridor yang membutuhkan kapasitas transportasi yang lebih kecil dapat dilayani oleh bus (Bus Rapid Transit - BRT), dan yang paling kecil dapat dilayani oleh bus biasa dan bahkan bus kecil (angkot) sesuai kebutuhan.

Namun dalam praktek, penyusunan struktur jaringan jalan tidak begitu mudah, karena pada umumnya kota atau daerah sudah terbentuk lebih dulu dengan struktur yang tidak tertata dengan baik. Dalam banyak kasus, jaringan jalan dikembangkan dari “jalan setapak” yang dilebarkan tanpa mempertimbangkan fungsi dan pola atau struktur jaringan. Akibatnya, jaringan yang terbentuk tidak sesuai dengan pola asal tujuan perjalanan penduduk, kapasitas jalan tidak sesuai dengan fungsi, dan jarak perjalanan menjadi lebih panjang dari yang seharusnya. Dalam kasus tersebut diperlukan re-strukturisasi jaringan dengan meluruskan dan atau memperlebar ruas jalan tertentu agar sesuai dengan fungsinya (arteri atau kolektor) dan menghilangkan missing-link dengan membangun jalan-jalan baru, sehingga pada akhirnya bisa didapatkan struktur jaringan jalan yang lebih tertata dengan baik.

3.2 Optimasi Jumlah Kendaraan Bermotor yang Beroperasi

Memang disadari bahwa pengguna moda angkutan pribadi tidak begitu mudah untuk berpindah ke moda angkutan umum, hal ini disebabkan karena moda angkutan umum tidak tersedia setiap saat, tidak bisa memberikan privacy bagi penumpangnya, dan kurang bergengsi dibandingkan dengan moda angkutan pribadi. Oleh karena itu maka kebijakan untuk mendorong penggunaan angkutan umum perlu dibarengi dengan kebijakan-kebijakan lain seperti misalnya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, mendorong penggunaan kendaraan tidak bermotor, dan penyediaan prasarana jalan kaki yang dapat mendorong pengguna angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke tempat tujuan akhir.

Namun demikian, perlu diingat bahwa kebijakan ini tidak boleh berdampak pada terhambatnya mobilitas masyarakat, karena akan berdampak buruk terhadap intensitas kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Sehingga oleh karenanya perlu ada upaya optimasi, agar terdapat proporsi yang tepat antara moda angkutan pribadi dan angkutan umum. Untuk maksud tersebut, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

A. Mendorong penggunaan angkutan umum

Masyarakat dapat didorong untuk menggunakan angkutan umum, sejauh tersedia angkutan umum yang memadai baik dalam konteks kapasitas maupun kualitas. Angkutan umum akan lebih menarik apabila ada jaminan keamanan dan ketepatan waktu. Selain itu juga perlu adanya integrasi, sehingga setiap moda tidak saling berkompetisi, tetapi sebaliknya, dapat saling melengkapi antara satu moda dengan moda yang lain. Integrasi dapat dilakukan baik dalam konteks rute atau trayek maupun dalam konteks pembayaran (tiket).

B. Mendorong pembatasan penggunaan kendaraan pribadi

Seperti telah disebutkan di atas, penyediaan angkutan umum yang memadai tidak otomatis menyebabkan pelaku perjalanan berpindah dari moda angkutan pribadi ke angkutan umum. Oleh karena itu untuk mendorong pelaku perjalanan berpindah dari moda angkutan pribadi ke moda angkutan umum perlu adanya semacam “pemaksaan”. Adapun salah satu bentuk “pemaksaaan” yang dikenal adalah kebijakan pembatasan lalu lintas (traffic restraint) yang dapat berupa kebijakan non-fiskal maupun kebijakan fiskal.

Contoh-contoh kebijakan non-fiskal adalah kebijakan nomor ganjil genap, kebijakan “3 in 1”, dsb. Untuk kebijakan nomor ganjil genap, pada hari tertentu kendaraan pribadi dengan nomor ganjil dilarang memasuki kawasan tertentu dan pada hari berikutnya nomor genap dilarang memasuki kawasan yang sama, sehingga kendaraan yang beroperasi pada kawasan yang bersangkutan hanya sekitar 50% dari yang biasanya. Kebijakan “3 in 1” sudah lama diterapkan di Jakarta, di mana kendaraan pribadi yang beroperasi di koridor tertentu pada jam-jam sibuk pagi dan sore diwajibkan mengangkut minimal 3 orang per kendaraan.

Kebijakan fiskal adalah bentuk-bentuk “pemaksaan” seperti road pricing dan pajak atau retribusi yang dikaitkan dengan pembelian bahan bakar, perparkiran, pembelian atau kepemilikan kendaraan bermotor, dsb. Maksud dari pengenaan pajak atau restribusi tersebut adalah agar supaya beban penggunaan kendaraan pribadi menjadi sedemikian berat sehingga pelaku perjalanan lebih memilih menggunakan angkutan umum dari pada kendaraan pribadi. Karena tujuan pemungutan pajak atau retribusi tersebut adalah agar masyarakat berpindah dari moda angkutan pribadi ke angkutan umum, maka uang yang terkumpul harus didedikasikan untuk subsidi dan atau perbaikan sistem angkutan umum, baik dalam konteks pemberian subsidi, perluasan daerah layanan, peningkatan kapasitas maupun peningkatan kualitas layanan.

C. Mendorong penggunaan kendaraan tidak bermotor

Selain mendorong penggunaan angkutan umum dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengoperasian jumlah kendaraan bermotor adalah dengan mendorong penggunaan kendaraan tidak bermotor. Untuk maksud tersebut diperlukan penyediaan infratruktur bagi pengoperasian kendaraan tidak bermotor dan bagi pejalan kaki. Selain itu diperlukan juga fasilitas penyimpanan (parkir) bagi kendaraan tidak bermotor (misal sepeda) di titik-titik simpul jasa distribusi seperti stasiun, terminal, dsb. Hal dini dimaksudkan agar pelaku perjalanan dapat melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kendaraan tidak bermotor (misal: sepeda) atau dengan berjalan kaki.

3.3 Memperbaiki Perilaku Berkendara (Driving Behaviour)

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, perbaikan perilaku berkendara juga mempunyai andil yang cukup signifikan dalam mengurangi konsumsi bahan bakar. Beberapa contoh perilaku berkendara yang boros bahan bakar adalah: mengemudi dengan berpindah-pindah lajur, mengemudi dengan kecepatan terlalu rendah atau terlalu tinggi, ngetem, tidak tertib di persimpangan, dsb. Mengemudi dengan cara berpindah-pindah lajur cenderung bersifat agresif. Mengemudi dengan cara yang agresif membutuhkan tenaga yang lebih besar, sehingga otomatis mengkonsumsi bahan bakar lebih banyak dibandingkan dengan pengemudi yang tertib. Selain itu, pada saat berpindah lajur, memotong arus pada lajur lain, otomatis akan mengganggu arus lalu lintas pada lajur yang bersangkutan, karena membuat pengemudi yang lain harus mengerem laju kendaraannya, yang diikuti oleh kendaraan-kendaraan lain di belakangnya. Hal seperti ini dapat mengurangi efisiensi konsumsi bahan bakar. Mengemudi dengan kecepatan terlalu rendah atau terlalu tinggi juga cenderung boros bahan bakar. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat kecepatan yang optimum, di mana konsumsi bahan bakar berada pada titik minimum. Pada kecepatan yang lebih rendah konsumsi bahan bakar akan lebih tinggi karena pengemudi mengoperasikan kendaraan

dengan gigi rendah, sedangkan pada kecepatan tinggi, konsumsi bahan bakar juga menjadi boros akibat adanya tahanan angin sudah menjadi sangat besar, yang meningkat secara eksponensial seiring dengan meningkatnya kecepatan kendaraan.

Ngetem biasanya dilakukan oleh pengemudi angkutan umum yang memberhentikan kendaraannya untuk menunggu penumpang. Perilaku seperti ini sangat memboroskan bahan bakar, karena mesin terus hidup sementara kendaraan tetap tidak bergerak. Kendaraan yang ngetem juga berdampak pada terganggunya arus lalu lintas, sehingga dapat menyebabkan kemacetan yang juga berakibat pada pemborosan bahan bakar. Perilaku buruk yang lain adalah ketidak disiplinan pengemudi di persimpangan. Antrian yang tidak tertib dan saling serobot dapat menyebabkan arus lalu lintas menjadi saling terkunci, sehingga berakibat pada kemacetan lalu lintas yang pada gilirannya menyebabkan pemborosan bahan bakar. Dalam rangka menyikapi hal-hal tersebut di atas, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki perilaku berkendara adalah rekayasa sosial, pendidikan atau pelatihan, penyuluhan masyarakat dan penegakan hukum.

Sesuai tugas pokok organisasi, pelaku riset adalah lembaga-lembaga riset dan Perguruan Tinggi. Namun demikian akan lebih baik bila dalam pelaksanaannya melibatkan pula institusi terkait misal riset di bidang otomotif (motor penggerak) melibatkan industri kendaraan bermotor, Departemen Perindustrian dan Departemen Perhubungan; riset di bidang energi dan bahan bakar melibatkan Pertamina beserta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; optimasi moda transportasi dan struktur jaringan transportasi melibatkan Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum dan Pemerintah Daerah.

Implementasi konsep transportasi hemat energi secara lengkap akan membutuhkan waktu yang lama, bisa lebih dari 5 tahun, dan membutuhkan biaya yang besar. Hanya untuk perbaikan struktur jaringan jalan saja misalnya, bisa membutuhkan waktu sekitar 2 - 3 tahun. Begitu juga untuk penerapan kebijakan pembatasan lalu lintas dan lain-lain, juga membutuhkan waktu yang lama, karena membutuhkan payung hukum terlebih dahulu. Oleh karena itu membutuhkan komitmen yang tinggi, baik dalam konteks kesinambungan program, maupun kesinambungan pendanaan.

Sebagai langkah awal, langkah-langkah untuk penghematan energi di sektor transportasi tidak perlu dilakukan semuanya, tetapi bisa dilakukan beberapa saja di antaranya. Untuk mengukur dampak dari langkah yang telah dilakukan dapat dilakukan studi kasus di suatu kota atau daerah tertentu. Melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan institusi terkait, dapat dilakukan (misal) penerapan sistem angkutan umum masal (Mass Rapit Transit atau Bus Rapit Transit), restrukturisasi jaringan transportasi, pembatasan lalu lintas, perbaikan perilaku berkendara (misal melalui penegakan disiplin lalu lintas), dan lain sebagainya. Adapun kota atau daerah yang dapat dijadikan studi kasus adalah kota atau daerah yang relatif terisolasi, sehingga tidak terpengaruh oleh pola kegiatan di daerah-daerah sekitarnya. Salah satu contoh kota atau daerah seperti yang dimaksud adalah pulau Batam, karena (1) pulau Batam dapat dianggap mewakili daerah urban dan (2) sistem transportasi darat di pulau tersebut tidak terpengaruh oleh daerah lain. Untuk kasus pulau Batam, jumlah konsumsi bahan bakar di sektor transportasi darat dapat dengan mudah diestimasi dari volume penjualan bahan bakar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang ada di pulau Batam.

Dalam konteks pembangunan sarana transportasi yang hemat energi, dapat dibuat program nyata berupa pembangunan kendaraan (misal: kereta api listrik) yang hemat energi. Agar hasilnya lebih terukur, penghematan energi dapat ditargetkan minimal (misal) 10%, dan selain itu, dalam konteks peningkatan peran industri dalam negeri, bisa pula ditargetkan bahwa produk yang dihasilkan harus mengandung komponen lokal minimal (misal) 60% atau lebih.

Mengingat bahwa kegiatan riset akan dilakukan oleh beberapa pihak, maka diperlukan adanya suatu institusi yang dapat berperan dalam mengintegrasikan peran lembaga-lembaga riset yang terlibat, serta menarik benang merah dari berbagai hasil riset yang telah dilakukan. Dengan demikian maka dapat dihasilkan satu hasil riset yang komprehensif yang mencakup berbagai aspek. Dalam hal ini institusi seperti DRN dapat diharapkan untuk melakukan peran integrasi serta menarik benang merah dari berbagai hasil riset yang telah dilakukan.

3.4 Prinsip Sistem Transportasi Berkelanjutan

Menurut A.R. Barter Tamim Raad dalam bukunya Taking Steps: A Community Action Guide to People-Centred, Equitable and Sustainable Urban Transport menyebutkan, dan di sadur dalam Panduan Kriteria SUTDes ’05, bahwa sistem transportasi berkelanjutan harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:

A. Aksesibilitas

Sistem transportasi yang berkelanjutan harus dapat menjamin adanya akses bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk para penyandang cacat, kanak-kanak dan lansia, untuk mendapatkan –paling tidak— kebutuhan dasarnya seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan

B. Kesetaraan Sosial

Sistem transportasi selayaknya tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat tingkat atas, yaitu dengan mengutamakan pembangunan jalan raya dan jalan tol semata. Penyediaan sarana angkutan umum yang terjangkau dan memiliki jaringan yang baik merupakan bentuk pemenuhan kesetaraan sosial, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan transportasi yang diberikan.

C. Keberlanjutan Lingkungan

Sistem transportasi harus seminimal mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sistem transportasi yang berkelanjutan harus mempertimbangkan jenis bahan bakar yang digunakan selain efisiensi dan kinerja dari kendaraan itu sendiri. Kombinasi dan integrasi dengan moda angkutan tak bermotor, termasuk berjalan kaki, dan moda angkutan umum (masal) merupakan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan dengan meminimalkan dampak lingkungan.

D. Kesehatan dan Keselamatan

Sistem transportasi yang berkelanjutan harus dapat menekan dampak terhadap kesehatan dan keselamatan. Secara umum, sekitar 70% pencemaran udara dihasilkan oleh kegiatan transportasi dan ini secara langsung, maupun tidak langsung, memberikan dampak terhadap kesehatan terutama terhadap sistem pernafasan. Di sisi lain, kecelakaan di jalan raya mengakibatkan kematian sekitar 500 ribu orang per tahun dan mengakibatkan cedera berat bagi lebih dari 50 juta lainnya. Jika hal ini tidak ditanggulangi, dengan semakin meningkatnya aktivitas transportasi dan lalu lintas akan semakin bertambah pula korban yang jatuh.

E. Partisipasi Masyarakat dan Transparansi

Sistem transportasi disediakan untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus diberikan porsi yang cukup untuk ikut menentukan moda transportasi yang digunakan serta terlibat dalam proses pengadaannya. Bukan hanya masyarakat yang telah memiliki fasilitas seperti motor atau mobil yang dilibatkan, melainkan juga mereka yang tidak memiliki fasilitas namun tetap memerlukan mobilitas dalam kesehariannya. Partisipasi ini perlu terus diperkuat agar suara mereka dapat diperhitungkan dalam proses perencanaan, implementasi dan pengelolaan sistem transportasi kota. Transparansi merupakan satu hal penting yang tidak boleh ditinggalkan. Keterbukaan dan ketersediaan informasi selama proses merupakan penjamin terlaksananya sistem yang baik dan memihak pada masyarakat.

F. Biaya Rendah dan Ekonomis

Sistem transportasi yang berkelanjutan tidak terfokus pada akses bagi kendaraan bermotor semata melainkan terfokus pada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, sistem transportasi yang baik adalah yang berbiaya rendah (ekonomis) dan terjangkau. Dengan memperhatikan faktor ini, bukan berarti seluruh pelayanan memiliki kualitas yang sama persis. Beberapa kelas pelayanan dapat diberikan dengan mempertimbangkan biaya operasi dan keterjangkauannya bagi kelas masyarakat yang dituju. Bukan biaya rendah yang menjadi kunci semata melainkan ekonomis dan keterjangkauannya.

G. Informasi

Masyarakat harus terlibat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengelolaan sistem transportasi. Untuk itu, masyarakat harus memahami latar belakang pemilihan sistem transportasi serta kebijakannya. Ini juga merupakan bagian untuk menjamin proses transparansi dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan transportasi kota.

H. Advokasi

Advokasi merupakan komponen penting untuk memastikan terlaksananya sistem transportasi yang tidak lagi memihak pada pengguna kendaraan bermotor pribadi semata melainkan memihak pada kepentingan orang banyak. Di banyak kota besar, seperti Tokyo, London, Toronto dan Perth, advokasi masyarakat mengenai sistem transportasi berkelanjutan telah mampu mengubah sistem transportasi kota sejak tahap perencanaan. Advokasi dapat dilakukan oleh berbagai pihak dan dalam berbagai bentuk. Penguatan bagi pengguna angkutan umum misalnya, akan sangat membantu dalam mengelola sistem transportasi umum yang aman dan nyaman.

I. Peningkatan Kapasitas

Pembuat kebijakan dalam sektor transportasi perlu mendapatkan peningkatan kapasitas untuk dapat memahami paradigma baru dalam pengadaan sistem transportasi yang lebih bersahabat, memihak pada kepentingan masyarakat dan tidak lagi tergantung pada pemanfaatan kendaraan bermotor pribadi semata. 10. Jejaring kerja Jejaring kerja dari berbagai stakeholder sangat diperlukan terutama sebagai ajang bertukar informasi dan pengalaman untuk dapat menerapkan sistem transportasi kota yang berkelanjutan.

3.5 Kriteria Transportasi Berkelanjutan

Dalam Panduan Kriteria SUTDes ’05 bahwa apabila mengingat transportasi adalah kebutuhan publik, maka faktor pelayanan adalah menjadi kata kunci dalam perbaikan sistem transportasi. Masalah transportasi adalah masalah mobilitas dan akses yang berkeadilan bagi semua warganegara tanpa pengecualian. Oleh karena itu dengan mempertimbangkan kebutuhan tersebut, maka mobilitas dan akses masyarakat yang ideal harus memenuhi kriteria-kriteria

sebagai berikut:

A. Kebijakan dan Peraturan

Pemerintah daerah harus menerapkan kebijakan sosial dan kebijakan teknis yang dapat mengembangkan pola transportasi nasional yang dapat melayani kebutuhan masyarakat secara baik dan terpadu. Kebijakan sosial pemerintah memiliki dampak terhadap system transportasi nasional dan industri transportasi itu sendiri. Kebijakan yang dituangkan dalam peraturan yang mendukung bagi transportasi berwawasan lingkungan,

meliputi:

· Kebijakan tentang master plan sistem transportasi yang harus disesuaikan dengan tipologi lingkungan dan budaya setempat dan sesuai dengan kaidahkaidah transportasi.

· Penetapan batas ambang kualitas udara dan kebisingan, dilengkapi hasil monitoring kualitas udara dan kebisingan. Pemerintah pusat jika perlu mengembangkan sistem informasi kualitas udara dan kebisingan di seluruh penjuru Indonesia, dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah.

· Dalam setiap pembangunan infrastruktur jalan, perlu disyaratkan penanaman pohon di sepanjang pinggir jalan untuk menyerap polusi dan menahan kebisingan.

· Pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi (mobil dan motor) untuk setiap keluarga.

· Adanya peraturan tentang zona pembatasan kenderaan dan peningkatan biaya parkir

· Adanya kebijakan dalam hal mengembalikan biaya eksternalitas kepada pencemar (pengguna kendaraan pribadi- bisa dalam bentuk pajak lingkungan).

Beban pencemaran tidak lagi ditanggung oleh publik namun oleh pencemar dan digunakan kepada masyarakat dalam bentuk tunjangan kesehatan atau lainnya. Upaya preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan kir kendaraan, namun masih saja ada perdebatan dalam pelaksanaannya. Pemeriksaan dan perawatan kendaraan (I atau M) secara konsisten menjadi kewajiban bagi seluruh pemilik dan pengendara kendaraan bermotor.

B. Penerapan Standar Pelayanan Minimum Angkutan Umum

Penerapan sistem layanan transportasi umum harus diselaraskan dengan standar pelayanan minimum dan ditujukan untuk pengangkutan dalam jumlah banyak dan cepat dan menjadi daya tarik bagi pengguna kendaraan pribadi beralih ke moda angkutan umum. Pelayanan ini dilakukan melalui:

· Pelayanan angkutan umum, meliputi:

1. Kenyamanan, keselamatan, keamanan, dan ketepatan waktu

2. Pelaksanaan uji berkala angkutan umum

Sistem Pengujian Kendaraan Bermotor (kelaikan jalan dan persyaratan teknis kendaraan umum) yang efektif meliputi mekanisme pengawasan, pemantauan, dan evaluasi kinerja PKB harus diterapkan secara konsisten;

· Sistem angkutan massal, yang akan memberikan layanan dan kemudahan akses bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Sistem angkutan massal dapat berupa bus (contoh bagus adalah busway di DKI Jakarta), truly bus (bertenaga listrik – seperti kereta listrik), trem, Mass Rapid Transit (MRT), car pooling (feeder bus), mono rel, Kereta Listrik dan lain-lain. Sistem agkutan massal bertenaga listrik mempunyai keunggulan, yaitu pemakaian listrik tidak mencemari jalur lalulintas yang dilalui, tetapi akan lebih terkendali atau terlokalisasi di tempat pembangkitan listrik saja. Meskipun bagi kota-kota kecil mungkin belum memerlukan angkutan massal saat ini, namun untuk perencanaan ke depan yang memperhitungkan perencanaan pengembangan wilayah dan pertumbuhan populasi, sistem angkutan massal ini harus diakomodasi dalam perencanaannya, terutama bagi pengembangan jaringannya.

· Jalan satu arah

· Road pricing

· Pengaturan kelas jalan

Transportasi umum harus dikembalikan lagi sebagai ”layanan publik” yang bila perlu harus disubsidi oleh pemerintah, sehingga semua komponen masyarakat akan terlayani angkutan publik dengan baik dengan harga yang terjangkau. Hal ini akan menjadi aset tersendiri bagi pemerintah, dengan adanya sistem angkutan publik yang memadai.

C. Non Motorised Transport

Memperhatikan kemampuan pejalan kaki untuk orang Indonesia, penderita cacat anak sekolah dan orang tua. Hal ini sangat penting bagi pengambilan keputusan setiap individu untuk memilih moda transportasi yang sesuai untuk dirinya. Sebagai contoh, kekuatan normal pejalan kaki untuk aktivitas harian adalah 0.5 km dalam satu perjalanan (mengingat negara tropis lebih cepat lelah), maka sistem transportasi yang dikembangkan harus menjangkau pengguna transportasi. Oleh karena itu butir 2 di atas sangat penting artinya bagi pengembangan sistem transportasi. Jika pengguna transportasi umum harus berjalan diluar jangkauannya ataupun tidak mendapatkan fasilitas yang sesuai, maka individuindividu akan memilih kendaraan pribadi. Akumulasi individu-individu ini yang menciptakan kemacetan lalulintas. Integrasi antara sistem angkutan massal dan angkutan lokal dapat diharmonisasikan. Selain itu penyediaan fasilitas jalan dan penyebrangan bagi para pejalan kaki, orang cacat dan sepeda harus disediakan (asas keadilan).

D. Jumlah dan Jenis Angkutan Umum

Jumlah dan jenis angkutan umum pun menjadi salah satu kriteria penting demi terwujudnya transportasi yang berkelanjutan. Apabila jumlah angkutan umum yang siap dioperasikan dapat memenuhi masyarakat, maka hal ini akan membantu terwujudnya transportasi yang telah di nanti selama ini. Tentu saja jumlah angkutan umum ini juga dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat sendiri akan pentingnya menjaga kualitas udara maupun lingkungan dengan cara menggunakan angkutan umum alih-alih menggunakan kendaraan pribadi yang mana dapat menambah polusi, khususnya di perkotaan.

Jenis angkutan umum pun haruslah diperhatikan. Pemilihan kendaraan yang ramah lingkungan akan semakin menambah baik dan bagusnya kualitas angkutan umum tersebut.

E. Infrastruktur Jalan

Pada saat ini yang lebih dikembangkan adalah jaringan jalan raya, sedangkan jaringan yang berbasis rel hampir-hampir tidak ada pengembangan, malah ada penyusutan dibandingkan jaman penjajahan Belanda (penutupan operasi sebagian jalur KA). Pembangunan yang berorientasi keuntungan semata (profit oriented) seperti pengembangan jalan tol, secara tidak langsung memicu pertumbuhan kendaraan bermotor, untuk menikmati kenyamanan berkendaraan. Jaringan tol telah membuka akses baru, dan memunculkan sistem transportasi yang cenderung tidak dapat dibendung jumlahnya.

F. Ekonomi dan Biaya Rendah.

Menghentikan atau menyurutkan langkah liberalisasi di bidang transportasi dan keuangan, yang nyata-nyata telah menciptakan collaps nya sistem transportasi kita. Terlalu banyak rencana didominasi oleh mega proyek yang mahal. Kebijakan transportasi berkelanjutan sangat rendah biaya dan termasuk pembatasan terhadap moda transportasi termahal- mobil pribadi. Kemudahan pembelian mobil atau motor pribadi melalui kemudahan kredit seperti leasing telah mendorong tumbuhnya kendaraan pribadi secara cepat dan mencengangkan. Secara individu, para pengguna motor roda dua lebih untung secara finansial karena dapat menghemat dibandingkan menggunakan angkutan umum. Persepsi inilah yang harus dirubah untuk menciptakan sistem transportasi yang ramah lingkungan. Penggunaan motor roda dua sebagai moda transportasi bukanlah pilihan yang baik, karena sangat tinggi risiko keselamatannya. Hal ini yang sekarang menjadi problem besar di perkotaan.

G. Pengembangan jaringan dan moda transportasi yang bersifat preventif akan lebih

baik dari pada yang bersifat counter action (kuratif). Kusutnya permasalahan transportasi di DKI Jakarta, karena bersifat kuratif, sebagai contoh untuk membangun mono rail atau MRT, banyak menemui kendala karena adanya kegiatan pembebasan lahan, yang peruntukannya tidak disiapkan jauh sebelum wilayah yang dilewati menjadi terbangun.

H. Perencanaan sistem transportasi kota terintegrasi dengan pengembangan wilayah atau tata ruang

I. Teknologi transportasi (bahan bakar, teknologi mesin, teknologi reduksi , daya angkut)

· Pemakaian bahan bakar ramah lingkungan (Biofuel, gas, dsb.)

· Penggunaan teknologi mesin

· Penggunaan teknologi untuk mengontrol emisi gas buang

· Daya angkut

J. Penguatan Budaya Melalui Sosialisasi Penggunaan Angkutan Umum.

Saat ini penggunaan mobil pribadi masih dianggap mempunyai nilai prestisius yang tinggi, sementara penggunaan angkutan umum masih dianggap rendah dalam stratifikasi budaya. Hal ini dapat dicontohkan melalui sikap para pejabat, yang notabene menggembar-gemborkan pemakaian angkutan publik, namun para pejabat sendiri tidak pernah menggunakan fasilitas angkutan umum.

3.6 Studi Kasus Transportasi Berkelanjutan Di Seluruh Dunia

Dewasa ini sudah banyak penerapan sustainable transportation di seluruh negara di dunia. Baik itu menggunakan moda transportasi yang ramah lingkungan hingga optimasi angkutan umum sudah dilakukan dan berhasil diterapkan. Berikut beberapa contoh studi kasus penerapan transportasi berkelanjutan.

A. Area Traffic Control System (ATCS) di Jakarta

ATCS dimaksudkan untuk mengurangi waktu hambatan di persimpangan dengan mengoptimalkan sistem persimpangan dengan lampu lalu lintas, sehingga akan diperoleh gelombang hijau (green wave) antara satu persimpangan dengan persimpangan yang lain. Dengan green wave maka apabila pengguna jalan mendapatkan lampu hijau pada satu persimpangan dan pengguna jalan tersebut mengikuti batas kecepatan yang ditentukan, maka akan mendapat lampu hijau pada persimpangan berikutnya. Solusi ini belum memberikan hasil yang diharapkan karena beban volume lalu lintas yang tinggi, banyaknya hambatan samping pada ruas jalan dan persimpangan, dan kondisi teknis infrastruktur ATCS yang kurang memadai.

B. Aturan 3 in 1 di Jakarta

Aturan ini mewajibkan semua kendaraan pribadi yang akan melewati jalan Sudirman dan Thamrin, berpenumpang 3 orang atau lebih termasuk pengemudi. Diterapkan hanya pada jam sibuk pagi dan sore. Skema ini sedikit banyak telah mampu menekan penggunaan kendaraan pribadi pada koridor utama tersebut, akan tetapi hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan di Jakarta. Terdapat beberapa kelemahan dari skema ini antara lain: (1) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang pengunaan jalan-jalan lokal, sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal (jalan tikus) yang ada untuk menghindari daerah 3 in 1, ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya penyedia jasa ilegal yang berperan sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah uang, untuk melengkapi jumlah penumpang menjadi tiga, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain (seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.

C. Pengembangan Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta

Bus Rapid Transit (BRT) dikembangkan di Jakarta dengan membangun Bus Only Lane (Busway) di beberapa koridor utama di Jakarta. Busway dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum dan mampu menarik pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan angkutan umum ini (Busway) sehingga akan mengurangi kemacetan. Solusi ini juga belum memberikan hasil yang optimal, Busway belum bisa berbuat banyak untuk menarik minat pengguna kendaraan pribadi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena opportunity cost dan standar kebutuhan kenyamanan pengguna kendaraan pribadi relatif tinggi dimana hal ini belum mampu dipenuhi oleh Busway, serta daerah pelayanan yang terbatas dan belum menjangkau daerah pinggiran Jakarta.

D. Penertiban Parkir dan Pedagang Kaki Lima di Jakarta

Penggunaan ruas jalan untuk parkir (on-street parking) dan pedagang kaki lima (juga di trotoar) akan mengurangi kapasitas jalan. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan upaya penertiban dengan melarang dan merazia pedagang kaki lima serta penggembokan terhadap kendaraan-kendaraan yang parkir pada ruas jalan yang tidak disediakan untuk parkir. Upaya ini belum begitu efektif dan tidak terlihat dampaknya terhadap perbaikan lalu lintas. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya konsistensi kebijakan, penegakan aturan yang kurang maksimal, dan masih banyaknya area on-street parking yang diijinkan.

E. Pembangunan Ruas Jalan Toll Dalam Kota di Jakarta

Dalam beberapa tahun terakhir, telah dibangun beberapa ruas jalan toll di kota Jakarta sebagai upaya untuk menambah kapasitas jaringan jalan di Jakarta. Pembangunan ruas jalan toll di Jakarta belum mampu mengatasi kemacetan di Jakarta. Terdapat kecenderungan, peningkatan kapasitas jalan justru menjadi salah satu variable yang mendorong penggunaan kendaraan pribadi.

F. Electronic Road Pricing (ERP)

Salah satu strategi dalam kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan (travel demand management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand management adalah untuk mendorong pengguna jalan untuk mengurangi perjalanan yang relative tidak perlu (terutama pengguna kendaraan pribadi) dan mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih sehat, dan ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen regulasi (regulatory instruments), persetujuan - persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan instrument - instrument ekonomi (economic instruments).

a. Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh pemerintah dan berisi standar-standar, larangan-larangan dan prosedur administrasi untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh penetapan hari bebas kendaraan, melarang kendaraan pribadi untuk wilayah tertentu, batasan jumlah penumpang lebih dari 3, dan lain-lain.

b. Cooperative instruments adalah keterlibatan individu, perusahaan swasta atau institusi pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai contoh carpooling.

c. Economic instruments menggunakan insentif dan atau atau disinsentif untuk mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport). Salah satu economic instrument yang sering diaplikasikan adalah road pricing.

Road Pricing adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Pada dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan Road Pricing yaitu untuk menambah pendapatan suatu daerah atau Negara, atau suatu sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan. Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan angkutan umum masal.

Ada beberapa pengelompokan road pricing berdasarkan tujuan.

· Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu economic instruments yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

· Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk Congestion Pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi, akhirnya, harus menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencri rute lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut. Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan.

Congestion pricing telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Oslo, Stockholm, dan London. Dana yang terkumpul, bisa juga dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid Transit, dan lain-lain.

a. Singapore

Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah untuk membatasi lalu lintas yang masuk CBD pada saat jam puncak untuk mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP). Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km atau jam pada expressways dan 20-30 km atau jam pada jalan arteri. Dampak diterapkanya congestion pricing atau ERP di Sangapore cukup signifikan. Prosentase penggunaan carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya congestion pricing menurun sampai dengan 44%.

b. London

ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara. Aplikasi ERP di London memberikan beberapa hasil positif antara lain:

· Penurunan volume lalu lintas 15 %

· Penurunan kemacetan 30%

· Penurunan polusi 12% (NOx, PM10)

· Perjalanan menjadi lebih reliable

· Reliabilitas bus schedule meningkat signifikan

· Kecelakaan lalu lintas menurun

· Peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan

· Tidak terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging

· Menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan pelayanan angkutan umum

c. Stockholm

Electronic Road Pricing pertama dikenalkan di Stockholm secara rsmi pada tanggal 1 Agustus 2007. Tujuan diadakannya ERP di Stockholm ini adalah untuk mengurangi kemcetan, meningkatkan aksesbilitas, serta memperbaiki kualitas lingkungan yang sekarang sudah tercemar dengan polusi akibat pembakaran mesin kendaraan. Beberapa hal positif yang didapat dari penerapannya ini adalah:

· Menurunnya prosentase lalu lintas ke atau dari pusat kota dari 20-25% menjadi 10-15%

· Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%

· Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.

G. Proyek MRT (Mass Rapid Transportation) di Jakarta

Proyek MRT akan dimulai dengan pembangunan jalur MRT 14.5 km dari Terminal Lebak Bulus hingga Stasiun Dukuh Atas. Pembangunan jalur pertama ini akan menjadi awal sejarah pengembangan jaringan terpadu dari sistem MRT yang merupakan bagian dari sistem transportasi massal DKI Jakarta pada masa yang akan datang.

Pengembangan untuk meneruskan jalur Dukuh Atas menuju Stasiun Kota yang akan disebut jalur utara -selatan serta pengembangan jalur timur-barat.
Ini merupakan simbol bahwa kota Jakarta akan menjadi kota yang sejajar dengan kota Megapolitan Asia seperti Singapura, Hongkong, Bangkok, New Delhi, Seoul dan Tokyo

Sejarah MRT di Jakarta

· 1990 – 1999

Penyusunan Masterplan Angkutan Umum Terpadu Jabodetabek tahun 1990-1992 oleh Departemen Perhubungan yang mengusulkan Pola Transportasi Terpadu antara Kereta Api, Light Rail, dan Bus. Basic Design oleh Konsorsium Indonesia-Jepang-Eropa tahun 1995-1996 dengan kesimpulan bahwa proyek ini tidak layak dilakukan dengan skema pembiayaan swasta penuh (BOT) karena biaya yang dapat ditutup dengan perolehan tiket hanya sebesar 15%.

Revised Basic Design oleh Departemen Perhubungan pada tahun 1999 yang mengusulkan agar proyek ini dibiayai oleh Pemerintah dengan partisipasi swasta yang minimal.

· 2000

Studi Kelayakan MRT (Subway) oleh Tim Studi JICA pada tahun 2000 yang menekankan pentingnya pembangunan Subway di Jakarta akan tetapi agar proyek ini layak dibiayai perlu keterlibatan Pemerintah dalam pembiayaannya.

· 2002

JICA Study on Integrated Transportation Master Plan II, pada tahun 2002-2004 yang juga menekankan prioritas pada pembangunan Subway

· 2004

Dikeluarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 84 tentang Pola Transportasi Makro (PTM) yang merupakan masterplan penanganan masalah transportasi di Jakarta. Salah satu solusi masalah transportasi adalah dibangunnya sarana transportasi massal yang prima dan terintegrasi dengan moda tranportasi lainnya. Sarana transportasi massal dimaksud adalah Mass Rapid Transit (MRT).
Tanggal 2 Maret 2004 Gubernur Provinsi DKI Jakarta telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) antara Departemen Perhubungan RI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang Pengembangan MRT dengan prioritas Koridor Lebak Bulus-Fatmawati-Blok M-Monas-Kota.

Berdasarkan MoU tersebut, pada bulan Juli 2004 Departemen Perhubungan mengeluarkan studi Implementation Program for Jakarta MRT System (Lebak Bulus-Dukuh Atas)

· 2005

Studi pada tahun 2004 direvisi pada bulan Maret 2005 menjadi Revised Implementation Program (Revised IP) for Jakarta MRT System (Lebak Bulus-Dukuh Atas). Atas dasar studi Revised IP tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengajukan permintaan kepada Pemerintah Jepang untuk membiayai proyek pembangunan MRT di Provinsi DKI Jakarta.

Pada pertengahan bulan Desember 2005 telah diperoleh beberapa kesepakatan yang dituangkan dalam Minutes of Discussion (MoD) yang ditandatangani oleh pihak Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Bappenas, Departemen Perhubungan serta Pemprov DKI Jakarta.

· 2006

Memorandum on Engineering Services (MoES) telah ditandatangani pada 18 Oktober 2006 antara Pemerintah Indonesia dan JBIC sebagai dasar persetujuan pinjaman.

Loan Agreement Tahap 1 (L/A 1) ditandatangani pada 28 November 2006, berdasarkan syarat-syarat yang sebelumnya telah disepakati dalam Minutes of Discussion (MoD) dan Memorandum on Engineering Services (MoES) dengan pinjaman sebesar ¥1,869 Milyar yang dipergunakan untuk pembiayaan:

· Konsultasi Penyusunan Basic Design (Engineering Services)

· Konsultasi Manajemen, untuk membentuk dan mengembangkan PT MRT Jakarta

· Konsultasi Pengadaan, untuk membantu PT MRT Jakarta melelang proyek sebagai implementasi dari basic design yang dihasilkan kegiatan pada butir 1 diatas

· 2007

Dengan telah direvisinya Undang-Undang Nomor 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian menjadi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007, maka kewenangan penyelenggaraan sarana prasarana perkeretaapian yang sedianya dikuasai oleh pemerintah pusat melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kini dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan peraturan yang berlaku, terdapat 3 (tiga) jenis badan usaha yang dapat dibentuk oleh Pemerintah Daerah, yaitu Badan Pengelola (BP), Perusahaan Daerah (BUMD/PD), dan Perseroan Terbatas (BUMD/PT). Ditinjau dari perspektif management, baik BP maupun BUMD/PD tidak memiliki fleksibilitas yang cukup untuk alih daya (outsource) maupun bekerjasama dengan sektor swasta, sehingga beresiko terjadinya inefisiensi karena terbatasnya pendanaan dari Pemerintah Daerah. Sementara BUMD/PT memiliki fungsi yang sama dengan sektor swasta sehingga mampu memanfaatkan sumberdaya eksternal secara maksimal.

Kajian SAPI (Special Assistance For Project Implementation) dan SAPMAN (Special Assistance for Procurement Management) dilakukan oleh pihak JBIC untuk membantu DepHub dan Pemprov DKI Jakarta dengan tujuan sebagai berikut:
Tujuan Studi SAPI:

· Revitalisasi rapat Sub Komite MRT

· Penyelarasan persepsi dari para stakeholders

· Kesepakatan atas roadmap jangka panjang dan key milestones keseluruhan proyek

· Pembentukan mekanisme monitoring terhadap perkembangan proyek

· Pengembangan kapasitas kepemimpinan dalam PT MRT Jakarta di waktu yang akan datang.

Tujuan Studi SAPMAN:

· Membantu menyusun dokumen yang dibutuhkan untuk pengadaan konsultan basic design, management consultant, dan tender assistance, dimana didalamnya termasuk TOR, LOI, SL dan kriteria untuk melakukan evaluasi.

· 2008

PT Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta) didirikan pada tanggal 17 Juni 2008, setelah terlebih dulu mendapatkan persetujuan DPRD Provinsi DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah No 3 Tahun 2008 mengenai Pembentukan BUMD PT MRT Jakarta dan Peraturan Daerah No 4 Tahun 2008 mengenai Penyertaan Modal Daerah di PT MRT Jakarta.

PT MRT Jakarta bergerak dalam bidang pengangkutan darat, dimana kegiatan usahanya terdiri dari penyelenggaraan prasarana dan sarana perekeretaapian umum perkotaan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengusahaan prasarana dan sarana MRT, dan termasuk juga pengembangan dan pengelolaan kawasan di sekitar depo dan stasiun MRT.

PT MRT Jakarta memiliki struktur kepemilikan sebagai berikut:

· Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta: 99%

· PD Pasar Jaya: 1%

Selanjutnya, PT MRT Jakarta bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan mulai dari tahap Engineering Service, Construction hingga Operations dan Maintenance. Dalam tahap Engineering Service, PT MRT Jakarta bertanggung jawab terhadap proses Pre-Qualification dan pelelangan kontraktor. Dalam tahap konstruksi, PT MRT Jakarta mewakili Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menandatangani kontrak dengan kontraktor pelaksana konstruksi, dan konsultan yang membantu proses pelelangan kontraktor, serta konsultan management dan operasional. Sedangkan dalam tahap operations dan maintenance, PT MRT Jakarta bertanggung jawab terhadap pengoperasian dan perawatan termasuk memastikan agar tercapainya jumlah penumpang yang cukup untuk memberikan revenue yang layak bagi perusahaan.

PT MRT Jakarta didesain dan didirikan berdasarkan rekomendasi studi dari JBIC dan telah disetujui dalam kesepakatan antara JBIC dan Pemerintah Indonesia, untuk menjadi satu pintu pengorganisasian penyelesaian proyek MRT ini. Berdasarkan pengalaman lampu, ketidak-adaan satu pintu ini menyebabkan ketidakpastian tanggung jawab yang bisa berakibat keterlambatan proyek.

H. Green Vehicle[1]

Mobil ini disebut mobil hijau bukan berarti mobilnya yang berwarna hijau, namun bahan bakar yang digunakan mobil ini merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Believe it or not, mobil ini menggunakan udara sebagai bahan bakarnya. Selain bisa mengurangi dampak negatif yaitu mengurangi polusi, mobil ini juga bersifat ekonomis. Karena pengguna mobil ini tidak perlu memusingkan mahalnya harga bahan bakar gas maupun minyak. Masyarakat selalu saja mengeluh karena harga bahan bakar yang terus menjulang tinggi, padahal dewasa ini kebutuhan manusia semakin bertambahnya waktu akan semakin bertambah pula. Dengan adanya teknologi transportasi Green Vehicle ini pun akhirnya beban pikiran masyarakat sedikit berkurang.

Salah satu tipe Green Vehicle yang diproduksi sekarang adalah e.Volution. mesin mobil ini bisa bekerja dengan menggunakan udara yang dikompresikan ke dalamnya, atau dapat pula berfungsi sebagai mesin pembakar (internal combustion engine). Udara yang sudah dikompresi (bertekanan tinggi) disimpan dalam tangki bertekanan 4.351 psi. Udara masuk ke mesin dan mengalir menuju ekspander sehingga volumenya bertambah dan tekanannya berkurang. Udara kemudian mendorong piston sehingga pada akhirnya mesin mobil bisa mulai bekerja. Mobil e.Volution ini hadir juga dalam tipe yang menggabungkan bahan bakar udara dengan bahan bakar minyak dan gas biasa. Dalam tipe hybrid ini perubahan sumber bahan bakar dapat dikendalikan secara elektronik. Jika mobil hendak dijalankan pada kecepatan di bawah 60 km/jam maka bahan bakar yang digunakan adalah udara, sedangkan pada kecepatan yang lebih tinggi bahan bakar tradisional dapat digunakan. Tangki udara dengan kapasitas 300 liter udara diletakkan di bagian bawah mobil. 300 liter udara ini dapat digunakan untuk menempuh jarak 200 km pada kecepatan maksimal 96,5 km/jam. Untuk mengisi kembali tangki udara sampai penuh, kita bisa menggunakan pompa udara tekanan tinggi selama tiga menit saja. Jika kita sedang santai di rumah, kita bisa mengisi tangki menggunakan sumber listrik biasa yang ada di rumah selama empat jam.

E.Volution bukan satu-satunya mobil yang menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Ada mobil lain yang meniru konsep mesin uap dalam rangka mendapatkan kendaraan yang hampir tidak menghasilkan polusi karena sama sekali tidak melibatkan proses pembakaran. Mobil LN2000 ini justru menggunakan cairan Nitrogen yang sangat dingin (-196oC) untuk mesin kriogeniknya. Kenapa Nitrogen? Komposisi udara di bumi melibatkan lebih dari 78% gas Nitrogen. Itu berarti gas Nitrogen merupakan komponen utama atmosfer bumi. Jika kita menggunakan cairan Nitrogen yang kemudian diuapkan menjadi gas Nitrogen, maka gas Nitrogen yang dikeluarkan tersebut bukan merupakan polusi bagi lingkungan. Lagipula Nitrogen cair tersedia di bumi dalam jumlah sangat berlimpah sehingga sangat mudah didapat. Satu lagi keuntungan mobil yang menggunakan nitrogen cair ini: massa total mobil jadi lebih ringan sehingga penggunaan nitrogen bisa lebih ekonomis.

Selain kedua mobil yang memanfaatkan udara, ada lagi alternatif lain mobil yang ramah lingkungan. Mobil hypercar ini menggunakan bahan bakar gas hidrogen yang menjamin tingkat emisi sangat rendah bahkan mencapai nol. Semua produsen mobil-mobil masa depan ini sedang berlomba mengembangkan dan menyempurnakan teknologi yang mereka gunakan untuk memproduksi mobil-mobil ramah lingkungan ini. Teknologi-teknologi yang canggih yang menggerakkan mobil-mobil masa depan ini dapat membantu kita mengembalikan kondisi alam yang sudah mulai rusak ini. Tingkat pencemaran lingkungan bisa dikurangi sehingga pada akhirnya kita bisa kembali menghirup udara segar yang sehat bagi tubuh kita. Belum lagi aspek ekonominya! Saat kita beralih dari bahan bakar tradisional, yang semakin lama semakin mahal, ke pemanfaatan udara yang tersedia dalam jumlah sangat berlimpah di sekeliling kita, kita dapat menekan pula tingkat pengeluaran kita. Harga-harga barang yang biasanya sangat dipengaruhi oleh setiap kenaikan harga bahan bakar pada akhirnya bisa lebih stabil sehingga kita pun bisa mempertahankan cara hidup yang lebih ekonomis. Berkurangnya penggunaan bahan bakar tradisional yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (suatu saat pasti akan habis) juga dapat mengurangi terjadinya berbagai perselisihan antara negara-negara yang selama ini sering berperang karena memperebutkan sumber-sumber minyak.

I. Pedestrian sebagai Penunjang Transportasi Hijau

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pedestrian merupakan jalan khusus – memang dibuat bersusun dua. Dengan kata lain berdasar penjelasan tersebut, jelas bahwa pedestrian bermakna pejalan kaki.

Pada masa lalu, perancangan pedestrian di kota jarang dilakukan. Ketika suatu mall dirancang dengan memperhatikan kenyamanan pejalan kaki, maka mall tersebut berhasil menarik banyak pengunjung. Jalan pedestrian (jalan pejalan kaki) di samping mempunyai unsur kenyamanan bagi pejalan kaki juga mempunyai andil bagi keberhasilan pertokoan dan vitalitas kehidupan ruang kota. Sistem pedestrian yang baik akan mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor di pusat kota, menambah pengunjung ke pusat kota, meningkatkan atau mempromosikan sistem skala manusia, menciptakan kegiatanan usaha yang maksimal.

Pada jaman sekarang, awalnya pembuatan area pedestrian mendapat tentangan yang keras dari masyarakat, terutama dari para pemilik toko. Contoh yang cukup dikenal adalah sewaktu pembuatan area pedestrian di Stroget, Kopenhage pada tahun 1962. Sosialisasi yang kurang menyebabkan para pemilik toko menentang rencana tersebut, karena mereka khawatir para pembeli akan berkurang bila mobil tidak diperkenankan masuk ke area pertokoan. Namun setelah hasilnya justru menenujukkan sebaliknya, akhirnya mereka beramai-ramai mendukung proyek tersebut. Hal ini kemudian memicu terjadinya penerapan pedestrianisasi kawasan pusat kota di mana-mana, seperti di Eropa, Amerika, dan Australia. Di Jerman (Barat) antara tahun 1929-1973 terjadi 197 pembangunan pedestrian street, di Inggris antara tahun 1967-1980 terjadi 108 pembangunan, dan di Amerika antara tahun 1959-1976 terjadi 70 pembangunan. Pada tahun 1975, 87 % dari jumlah kota-kota di Australia dan Selandia Baru telah mempunyai zona pedestrian.


DAFTAR PUSTAKA

Ahira, Anne. (2010). Memahami Perkembangan Transportasi. http://www.anneahira.com/artikel-umum/transportasi.htm (di akses tanggal 16 November 2010)

Anonim. (2007). Better Air Quality (BAQ). http://langitbiru.menlh.go.id/index.php?module=detailprog&id=4 (di akses tanggal 16 November 2010)

Anonim. (2007). Evaluasi Kualitas Udara. http://langitbiru.menlh.go.id/index.php?module=detailprog&id=10 (di akses tanggal 16 November 2010)

Anonim. (2007). Membangun Sistem Transportasi Berkelanjutan http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=629 (di akses tanggal 16 November 2010)

Anonim. (2008). Clean Air, Clean Fuel, Clean Vehicles. http://langitbiru.menlh.go.id/index.php?module=detailprog&id=12 (di akses tanggal 16 November 2010)

Anonim. (2009). Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. http://www.jakarta.go.id/v70/index.php/en/tentang-jakarta/jakarta-masa-depan/64-mrt-jak (di akses tanggal 21 November 2010)

Jajeli, Rois. (2009). Masalah Transportasi Indonesia Dibahas Internasional. http://surabaya.detik.com/read/2009/11/16/141032/1242587/466/masalah-transportasi-indonesia-dibahas-internasional (di akses tanggal 16 November 2010)

Nasution, M.Nur. (2004). Manajemen Transportasi. Ghalia Indonesia: Jakarta

Surya, Yohanes. (2008). Mobil Hijau. http://www.yohanessurya.com/download/penulis/Bermimpi_10.pdf (di akses 21 November 2010)



[1] Prof. Yohanes Surya, PhD.. dalam Mobil Hijau